Review Film
A Long Visit a.k.a My Mom
Banyak
teman yang bilang film ini BAGUS, mengharu biru, dan pokoknya menyentuh hati.
Saking meyakinkannya mereka bilang begitu, saya jadi semakin termotivasi untuk
menontonnya. Beberapa hari setelah mendapat film-nya, saya langsung
menontonnya. Mungkin karena ekspektasi yang terlalu berlebihan, akhirnya
membuat saya jenuh menonton film ini. Pada awalnya saya menikmati alur cerita
yang natural dan sangat “nyata” di kehidupan kita itu, tapi baru setengah dari durasi
film, saya angkat tangan dan memutuskan untuk mematikan laptop saya. Saya pikir
akan ada semacam “kejutan” atau apalah di tengah cerita, tapi nyatanya alur
film tetap berjalan seperti itu. Mungkin memang A Long Visit dimaksudkan untuk
dijadikan film yang datar tapi mengena, seperti The Way Home, Hearty Paws,
Hachiko, atau Wedding Dress. Tapi, menurut saya—ini menurut saya J--keempat film tersebut lebih
punya sedikit amplitudo dibanding A Long Visit.
Akhirnya
saya merampungkan film itu beberapa hari kemudian. Saya penasaran, tapi bukan
layaknya penasaran terhadap kejadian di dalam film itu, melainkan penasaran
kapan si “kejutan” atau setidaknya sedikit “amplitudo” itu akan muncul. Dan
memang, amplitudo itu muncul, tapi agak-agak di akhir. Ternyata, si anak
perempuan kesayangan sang ibu sakit kanker dan meninggal di penghujung
film—ending tipe film golongan atau digolongkan “datar tapi mengena”.
Kalau
dari segi akting, film ini memang bagus. Sang ibu dan anak perempuannya bisa
menerjemahkan skenario film yang dibuat sealami mungkin (seperti kehidupan sehari-hari)
menjadi akting yang juga natural. Bagaimana ibu yang tidak berpendidikan
berjuang membesarkan anaknya dengan penderitaan dan kekonyolan-kekonyolan yang
banyak terjadi di sekitar kita, sang anak yang malu tapi sayang dengan ibunya
yang norak tapi sangat mencintainya, dan sederet peristiwa-peristiwa lazim
lainnya yang terjadi di kehidupan nyata. Film ini menjadi kubu seberang dari
film-film laris yang dikatakan realistis tapi tidak realistis-realistis amat
juga. Misalnya, ketika seorang gadis harus berjuang menghidupi diri dan
keluarganya (atau harus berjuang untuk membayar utang yang ditinggalkan orang
tuanya), ia lalu bertemu dengan laki-laki tipe pangeran tampan yang bertemu
dengannya karena suatu KEBETULAN. Meski dari kalangan tidak punya, kebetulan
gadisnya cantik, jadi endingnya pun... ya begitulah. Kalau dipikir-pikir, apa
iya kita sering menemui fenomena semacam ini? Kalau kebetulan gadisnya tidak
cantik (secara fisik) bagaimana? Atau yang laki-lakinya tidak tampan (secara
fisik juga) bagaimana? Sudah begitu, kadang-kadang si gadis jadi rebutan juga.
Laki-laki yang merebutkan masuk tipe pangeran tampan pula! Kalaupun ada
kenyataan semacam ini, pasti sedikit. Padahal cerita tipe cinderella seperti
ini buaanyak sekali dipakai untuk inti cerita dan laris manis di pasaran. Tapi
tidak bisa dipungkiri, kisah-kisah seperti ini memang banyak disukai oleh
masyarakat, terutama masyarakat yang mendambakan kehidupan ideal, sejenak mereka
lari dari kenyataan dan bahagia dengan menonton serial yang beralur ideal itu.
Dibanding
dengan kisah semacam itu, mungkin sesekali kita memang perlu menonton film-film
yang lebih realistis dan natural, kita bisa bercermin terhadap diri kita
sendiri, dan kadang menertawakan kekonyolan dalam film yang sering kita lakukan
di dunia nyata. Seperti film A Long Visit ini, yang malah mungkin terlalu
realistis.
Hal
lain yang mengecewakan saya, selain “amplitudo” yang kurang greget, adalah
pesan moral film ini yang kurang sempurna. Mungkin dari film ini, sang penulis
cerita ingin menyampaikan pesan dengan tokoh utama ibu, yaitu tentang
“sayangilah ibu”, “jangan membenci ibu”, “pengertianlah terhadap ibu”, dan
sebagainya. Tetapi setelah menonton film ini, bukannya saya menangis karena
terkenang sosok ibu yang begitu mulia, saya malah sungguh tidak suka dengan
sosok ibu dalam film ini. BENAR-BENAR TIDAK SUKA.
Mari
kita cermati dari tiap segmen film ini.
Pertama,
film ini seolah-olah menunjukkan betapa besar kasih ibu kepada anaknya. Tapi
anak yang mana? Di film ini, si ibu sangat sangat sangat menyayangi anak
perempuannya, tapi anak laki-lakinya ia cueki mentah-mentah. Kalau pesan yang
akan dibawa adalah besarnya kasih sayang ibu kepada anaknya, harusnya tokoh ibu
dalam film ini juga menyayangi anak laki-lakinya (adiknya si anak perempuan kesayangan).
Atau setidaknya bersikap sewajarnya, tidak cuek seperti itu. Kesan ibu mulia
yang penuh kasih sayang terhadap anaknya (semua anaknya—red) menjadi gagal
dibawakan dalam film ini, karena ia hanya mencurahkan kasih sayangnya pada anak
perempuannya.
Kedua,
film ini seolah-olah ingin menunjukkan betapa besar dan berat perjuangan
seorang ibu untuk membesarkan anaknya. Tapi, film ini menunjukkan karakter sang
ibu yang RELA melakukan APA SAJA demi anaknya, termasuk mendatangi peramal dan
menawar harga makanan di pasar dengan begitu sadis. Tentu saja saya sebagai
seorang muslim sangat tidak sepakat dengan hal ini. Kita boleh bekerja keras
untuk suatu hal yang baik (termasuk membesarkan anak), tapi tidak sampai
berbuat syirik dan mendzalimi orang lain.
Ketiga,
film ini seolah-olah ingin menunjukkan rasa cinta yang total dari sang ibu
untuk anaknya (anak perempuannya—red). Tapi, rasa cinta ini sungguh
diekspresikan terlalu berlebihan. Sang ibu sangat tidak rela ketika anaknya mati,
sampai menangis meraung-raung, bahkan berjanji untuk mati duluan. Karena
ternyata tidak mati duluan, ia berjanji untuk segera menyusul anaknya dan
bertemu dengannya di kehidupan berikutnya. Kehidupannya pun dihabiskan dengan
hanya melamun dan ia menjalani semua aktivitas seolah-olah tanpa nyawa—sampai
sebegitunya. Kembali lagi, dikemanakan anak laki-lakinya? Bukankah ia masih
punya seorang anak laki-laki? Lalu ia juga punya cucu dan menantu yang baik.
Mereka semua dikemanakan? Lagi, sebagai seorang muslim saya sangat tidak
sepakat dengan hal ini. Sang ibu telah menempatkan rasa cinta yang pertama
untuk anak perempuannya. Padahal, tingkatan cinta yang pertama adalah untuk
Allah SWT. Dan yang keduapun untuk Rasulullah SAW. Tidak boleh kita cinta
berlebihan pada harta, kekuasaan, kecantikan, ketampanan, bahkan pada anak.
Kita juga tidak boleh menangisi orang yang sudah meninggal dengan berlebihan,
sampai meraung-raung, mengutuk, dan bahkan mempengaruhi perjalanan kehidupan
kita selanjutnya. Kita harus merelakan setiap nyawa yang pergi meninggalkan
kita, agar ia pun bisa pergi dengan tenang.
Terlepas
dari kekurangan-kekurangan yang saya cermati itu, kembali saya menyampaikan
bahwa mungkin film ini memang ditujukan untuk menunjukkan realita yang ada
dalam hidup kita. Mungkin sang penulis cerita pernah menjumpai sosok ibu dengan
karakter semacam itu, atau bahkan mengalaminya sendiri. Tidak bisa dipungkiri,
di dunia nyata ini ada sosok ibu dengan karakter seperti itu, dan penulis
cerita ingin menunjukkan bahwa “ini lho, ada ibu yang sayang sama anaknya
sampai sebegitunya...”. Kalau memang tujuan film ini hanya sekedar mencuplik
realita dalam kehidupan ini, film ini cukup bagus, karena kedalaman peran ibu
dan anak yang natural. Tapi kalau film ini ditujukan untuk membawakan pesan
moral, saya rasa masih ada yang kurang pas.
That’s
all. Itulah hasil cermatan saya tentang film A Long Visit a.k.a My Mom. Mungkin
terkesan subjektif, dan mungkin saja hasil cermatan orang lain akan berbeda.
But it doesn’t matter, semua orang punya pendapat masing-masing J.
6 Januari 2011
By Pengamat Film Amatir,
Nena Fauzia :D
jeli'y dirimu. .hemmhh,,
BalasHapusQ bilang si bkn amatir,tpi dah ckup prfsional...
Sipp lah..
Setuju, sepertinya yg amatir ya yg memposting dengan rasa iri hahaaa
Hapushahah ea benar, namun filmnya tetap mengharukan...
BalasHapusorang bijak selalu mengambil sisi positif nya .
BalasHapusbut it doesnt matter , semua orang punya pendapat masing-masing :D hihihihi
bagaimanapun filim ini akan selalu aku kenang..!!
BalasHapusibu ibu ibu itulah nama yang membuat film ini bagus bgt
Hmm kalo aku perhatiin ya adiknya jarang di liatin karena pergi wajib militer daaan adat disana itu kalo istri mati duluan keluarga dari perempuan gaada hak buat mengambil alih kewajiban mengasuh cucunya karena masih ada keluarga dari pihak pria. Makanya si ibu termengu sendirian karena yang biasanya dia selalu sibuk buat anak perempuannya tapi skrg udah gaada gituu. Maaf kalo sok tau hehe
BalasHapushmmmpt mau tanya musik ostnya jdulnya apa ya ???
BalasHapusHmmm qlo menurut gua sih Pas kok.
BalasHapusBagus
Sangat bagus
Amat bagus
Kena bgt
Sepengetahuan gua sih ya kebanyakan ibu pasti lebih menyayangi anak perempuannya ketimbang anak laki lakinya,
Kebanyakan.
Apalagi qlo pernah punya anak pertama terus meninggal ya sama seperti ibu nya jisuk lah ya.
Coba deh tonton sekali lagi.
Siapa tau lebih ngena
Dr pada berargumen bawa bawa muslim segala.
Kan lucu
Pertama kenapa ibunya lebih sayang sama anak perempuannya: ibu nya jisuk pernah punya anak perempuan sebelum jisuk tapi meninggal, kemudian ibu nya punya anak permpuan lagi yaitu jisuk, karena ibu nya nggak mau kejadian terdahulu terulang disitulah ibunya sangat mati matian menjaga jisuk walau dy memiliki anak laki laki.
BalasHapusDan berhasil kok, buktinya walau nggak disayang anak laki lakinya sukses jadi Militer.
Kedua tentang peramal: hal yg wajar sih qlo seorang ibu begitu cemas dengN keadaan anaknya, takut terjadi sesuatu, dan liat dong ketika jisuk besar, apa anaknya nggak menasehati? Sepertinya ada.
Ketiga: film ini menceritakan tentang ibu yg sangat sayang sama anak perempuannya, dikehidupan nyata pun pasti banyak yg seperti itu, apalagi dr kalangan menengah kebawah, dan punya ayah yg sangat ringan tangan kepada ibunya.
Sepertinya anda harus menjadi seorang ibu dahulu
Terus merasakan anak pertama mu meninggal.
Pasti sama dengan apa yg disaksikan dengan film A Long Visit ini.
Sekian terimakasih
Oia satu lagi, mengenai Harus Mencintai dan mengagumi Allah SWT, sepertinya di film A Long Visit sama sekali tidak menggambarkan Ibu muslimah, ayah muslimin anak yg soleh n soleha deh.
Coba deh anda tonton sinetron Cinta Fitri di sctv terdahulu, atau film yg menggambarkan dengan cinta.
Sepertinya nggak mencerminkan juga deh.
Sepertinya Anda memposting terlalu AMATIR