Selasa, 10 Juli 2012

Review Film A Long Visit a.k.a My Mom

Review Film A Long Visit a.k.a My Mom

Banyak teman yang bilang film ini BAGUS, mengharu biru, dan pokoknya menyentuh hati. Saking meyakinkannya mereka bilang begitu, saya jadi semakin termotivasi untuk menontonnya. Beberapa hari setelah mendapat film-nya, saya langsung menontonnya. Mungkin karena ekspektasi yang terlalu berlebihan, akhirnya membuat saya jenuh menonton film ini. Pada awalnya saya menikmati alur cerita yang natural dan sangat “nyata” di kehidupan kita itu, tapi baru setengah dari durasi film, saya angkat tangan dan memutuskan untuk mematikan laptop saya. Saya pikir akan ada semacam “kejutan” atau apalah di tengah cerita, tapi nyatanya alur film tetap berjalan seperti itu. Mungkin memang A Long Visit dimaksudkan untuk dijadikan film yang datar tapi mengena, seperti The Way Home, Hearty Paws, Hachiko, atau Wedding Dress. Tapi, menurut saya—ini menurut saya J--keempat film tersebut lebih punya sedikit amplitudo dibanding A Long Visit.

Akhirnya saya merampungkan film itu beberapa hari kemudian. Saya penasaran, tapi bukan layaknya penasaran terhadap kejadian di dalam film itu, melainkan penasaran kapan si “kejutan” atau setidaknya sedikit “amplitudo” itu akan muncul. Dan memang, amplitudo itu muncul, tapi agak-agak di akhir. Ternyata, si anak perempuan kesayangan sang ibu sakit kanker dan meninggal di penghujung film—ending tipe film golongan atau digolongkan “datar tapi mengena”.

Kalau dari segi akting, film ini memang bagus. Sang ibu dan anak perempuannya bisa menerjemahkan skenario film yang dibuat sealami mungkin (seperti kehidupan sehari-hari) menjadi akting yang juga natural. Bagaimana ibu yang tidak berpendidikan berjuang membesarkan anaknya dengan penderitaan dan kekonyolan-kekonyolan yang banyak terjadi di sekitar kita, sang anak yang malu tapi sayang dengan ibunya yang norak tapi sangat mencintainya, dan sederet peristiwa-peristiwa lazim lainnya yang terjadi di kehidupan nyata. Film ini menjadi kubu seberang dari film-film laris yang dikatakan realistis tapi tidak realistis-realistis amat juga. Misalnya, ketika seorang gadis harus berjuang menghidupi diri dan keluarganya (atau harus berjuang untuk membayar utang yang ditinggalkan orang tuanya), ia lalu bertemu dengan laki-laki tipe pangeran tampan yang bertemu dengannya karena suatu KEBETULAN. Meski dari kalangan tidak punya, kebetulan gadisnya cantik, jadi endingnya pun... ya begitulah. Kalau dipikir-pikir, apa iya kita sering menemui fenomena semacam ini? Kalau kebetulan gadisnya tidak cantik (secara fisik) bagaimana? Atau yang laki-lakinya tidak tampan (secara fisik juga) bagaimana? Sudah begitu, kadang-kadang si gadis jadi rebutan juga. Laki-laki yang merebutkan masuk tipe pangeran tampan pula! Kalaupun ada kenyataan semacam ini, pasti sedikit. Padahal cerita tipe cinderella seperti ini buaanyak sekali dipakai untuk inti cerita dan laris manis di pasaran. Tapi tidak bisa dipungkiri, kisah-kisah seperti ini memang banyak disukai oleh masyarakat, terutama masyarakat yang mendambakan kehidupan ideal, sejenak mereka lari dari kenyataan dan bahagia dengan menonton serial yang beralur ideal itu.

Dibanding dengan kisah semacam itu, mungkin sesekali kita memang perlu menonton film-film yang lebih realistis dan natural, kita bisa bercermin terhadap diri kita sendiri, dan kadang menertawakan kekonyolan dalam film yang sering kita lakukan di dunia nyata. Seperti film A Long Visit ini, yang malah mungkin terlalu realistis.

Hal lain yang mengecewakan saya, selain “amplitudo” yang kurang greget, adalah pesan moral film ini yang kurang sempurna. Mungkin dari film ini, sang penulis cerita ingin menyampaikan pesan dengan tokoh utama ibu, yaitu tentang “sayangilah ibu”, “jangan membenci ibu”, “pengertianlah terhadap ibu”, dan sebagainya. Tetapi setelah menonton film ini, bukannya saya menangis karena terkenang sosok ibu yang begitu mulia, saya malah sungguh tidak suka dengan sosok ibu dalam film ini. BENAR-BENAR TIDAK SUKA.

Mari kita cermati dari tiap segmen film ini.

Pertama, film ini seolah-olah menunjukkan betapa besar kasih ibu kepada anaknya. Tapi anak yang mana? Di film ini, si ibu sangat sangat sangat menyayangi anak perempuannya, tapi anak laki-lakinya ia cueki mentah-mentah. Kalau pesan yang akan dibawa adalah besarnya kasih sayang ibu kepada anaknya, harusnya tokoh ibu dalam film ini juga menyayangi anak laki-lakinya (adiknya si anak perempuan kesayangan). Atau setidaknya bersikap sewajarnya, tidak cuek seperti itu. Kesan ibu mulia yang penuh kasih sayang terhadap anaknya (semua anaknya—red) menjadi gagal dibawakan dalam film ini, karena ia hanya mencurahkan kasih sayangnya pada anak perempuannya.

Kedua, film ini seolah-olah ingin menunjukkan betapa besar dan berat perjuangan seorang ibu untuk membesarkan anaknya. Tapi, film ini menunjukkan karakter sang ibu yang RELA melakukan APA SAJA demi anaknya, termasuk mendatangi peramal dan menawar harga makanan di pasar dengan begitu sadis. Tentu saja saya sebagai seorang muslim sangat tidak sepakat dengan hal ini. Kita boleh bekerja keras untuk suatu hal yang baik (termasuk membesarkan anak), tapi tidak sampai berbuat syirik dan mendzalimi orang lain.

Ketiga, film ini seolah-olah ingin menunjukkan rasa cinta yang total dari sang ibu untuk anaknya (anak perempuannya—red). Tapi, rasa cinta ini sungguh diekspresikan terlalu berlebihan. Sang ibu sangat tidak rela ketika anaknya mati, sampai menangis meraung-raung, bahkan berjanji untuk mati duluan. Karena ternyata tidak mati duluan, ia berjanji untuk segera menyusul anaknya dan bertemu dengannya di kehidupan berikutnya. Kehidupannya pun dihabiskan dengan hanya melamun dan ia menjalani semua aktivitas seolah-olah tanpa nyawa—sampai sebegitunya. Kembali lagi, dikemanakan anak laki-lakinya? Bukankah ia masih punya seorang anak laki-laki? Lalu ia juga punya cucu dan menantu yang baik. Mereka semua dikemanakan? Lagi, sebagai seorang muslim saya sangat tidak sepakat dengan hal ini. Sang ibu telah menempatkan rasa cinta yang pertama untuk anak perempuannya. Padahal, tingkatan cinta yang pertama adalah untuk Allah SWT. Dan yang keduapun untuk Rasulullah SAW. Tidak boleh kita cinta berlebihan pada harta, kekuasaan, kecantikan, ketampanan, bahkan pada anak. Kita juga tidak boleh menangisi orang yang sudah meninggal dengan berlebihan, sampai meraung-raung, mengutuk, dan bahkan mempengaruhi perjalanan kehidupan kita selanjutnya. Kita harus merelakan setiap nyawa yang pergi meninggalkan kita, agar ia pun bisa pergi dengan tenang.

Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang saya cermati itu, kembali saya menyampaikan bahwa mungkin film ini memang ditujukan untuk menunjukkan realita yang ada dalam hidup kita. Mungkin sang penulis cerita pernah menjumpai sosok ibu dengan karakter semacam itu, atau bahkan mengalaminya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, di dunia nyata ini ada sosok ibu dengan karakter seperti itu, dan penulis cerita ingin menunjukkan bahwa “ini lho, ada ibu yang sayang sama anaknya sampai sebegitunya...”. Kalau memang tujuan film ini hanya sekedar mencuplik realita dalam kehidupan ini, film ini cukup bagus, karena kedalaman peran ibu dan anak yang natural. Tapi kalau film ini ditujukan untuk membawakan pesan moral, saya rasa masih ada yang kurang pas.

That’s all. Itulah hasil cermatan saya tentang film A Long Visit a.k.a My Mom. Mungkin terkesan subjektif, dan mungkin saja hasil cermatan orang lain akan berbeda. But it doesn’t matter, semua orang punya pendapat masing-masing J.

6 Januari 2011

By Pengamat Film Amatir,
Nena Fauzia :D



Lomba-lomba Update Status :P

Rabu, 27 April 2011

asna Fairy Tale in Kesmas 2008 A Jiayou

1
Neta turun dari angkot dengan gaya culun—gaya peralihan antara anak SMA ke mahasiswi. Tak lain dan tak bukan, gaya itu merupakan gaya khas yang akan membuat semua mahasiswa maupun mahasiswi menyesal ketika melihatnya lagi. Baju yang antara rapi dan nggak, kegedean, warnanya nggak matching, bahkan bisa dikira mau ngelamar pekerjaan, bukan mau kuliah. Padahal, persiapannya udah dari subuh. Begitu selese dzikir abis sholat, langsung pake baju yang udah disetrika sore sebelumnya, kalo yang pake jilbab langsung memulai protap (prosedur tetap) memakai jilbab. Ada juga yang biasa pake jilbab kaos gara-gara mau kuliah jadi ngambil kursus kilat ke temen atau sodaranya selama sebulan untuk mendapatkan sertifikat kelulusan memakai jilbab segiempat—demi kelihatan lebih rapi alias keren alias lebih dewasa. Yah, namanya juga mahasiswa baru, pasti lagi gegap-gegapnya memproklamirkan diri sebagai mahasiswa. Ini lho, aku nggak pake putih abu-abu lagi; ini lho, aku udah boleh pake baju bebas buat menuntut ilmunya; ini lho, aku udah dewasa; ini lho, aku udah mahasiswa; dan seterusnya...
Sambil merapikan jilbab dan roknya supaya tetep keliatan mulus (padahal semakin dirapiin semakin ancur, hihihi), Neta menatap gerbang kampusnya dengan tersedu-sedu, eh, maksudnya ternganga-nganga. Whoa, ini dia sekolahku yang baru, hebaaat... aku udah dewasa! Batin Neta banggaaa banget. Kemudian Neta melangkah masuk dengan hati gundah, tuh kan salah lagi, maksudnya dengan hati gembira ria. Tapi rok baru yang dia pakai agak menghambat langkahnya. Neta sengaja memilih rok dengan model agak sepan dikit, eh, tak dinyana dan tak terkira rok itu malah nggak nyaman dipake.
Nggak usah cerita soal ospek lah... yang pasti begini begitu-nya tentang ospek udah tau, kan? Nggak ada yang spesial juga kok di ospek yang ASNA alami. Yang jelas, saat ospek, ASNA belum bertemu sama sekali. Kecuali Ami dan Alina yang satu kelompok ospeknya.
Setelah memasuki gerbang, Neta segera mencari Ruang I buat mulai kuliah pertama. Hmm... bau baju baru, sepatu baru, tas baru, dan gaya baru semerbak di mana-mana. Apalagi pas udah masuk ruang kuliahnya, hmm... baunya menyengat sampai menusuk hidung (aah, lebay amat, hehe). Yang jelas, Neta mulai nerfes begitu masuk ruang kuliah. Duh, duduk di mana, ya? Nggak ada yang kenal, nih. Mukanya juga pada serem-serem, ada yang kayak mau senyum tapi nggak jadi-jadi, ada yang cemberut, ada yang ngeliatin penasaran... (mungkin di dalem hatinya dia lagi nebak-nebak: “kira-kira tu anak (Neta) mau duduk di mana, ya? Kalo duduk di sini, maka hari senin aku puasa. Kalo duduk di sono, maka hari kamis aku puasa. Kalo duduk di tempat dosen, maka tu anak gila.”)
Neta masih mengamati muka anak-anak di ruang itu. Harusnya ada yang dia kenal. Ternyata emang bener. Seorang cewek mungil berjilbab putih tersenyum bahagia dan melambai-lambaikan tangannya ke arah Neta. Kalo itu adegan di bandara atau pelabuhan, pasti di-slow motion, dan si cewek mungil akan berteriak ke Neta dengan efek echo yang dramatis: “Netaaaa... taa... taa... Aku di siniiii... nii... nii...”
Neta balas melambai dengan muka sumringah, lalu bergerak mendekat ke arah cewek mungil itu.
“duduk di sini aja, samping aku,” katanya.
“iya, iya!” sahut Neta semangat. “Risya, kita satu kelas ternyata?” ujar Neta.
“iya, aku juga baru tau,” jawab Risya, cewek mungil itu.
“ngomong-ngomong kamu berangkat jam berapa? Kok pagi banget udah di sini?” tanya Neta sambil menaruh tasnya.
“jam setengah tujuh kurang, lah. Tadinya takut nggak kebagian bangku, takut rebutan, hihihi,” jelas Risya sambil tertawa kecil.
“hehe, emang SD, pake rebutan bangku segala?” ujar Neta seraya ikut tertawa kecil.
Setelah tertawa basa-basi itu, nggak ada topik lagi yang bisa mereka bikin buat mengisi waktu nunggu dosen dateng. Padahal Neta udah mikir lamaa banget, tapi dia nggak dapet juga topik pembicaraan yang pas. Risya juga sepertinya bernasib sama. Jadi, mereka Cuma diem-dieman. Pake mainan pulpen lah, buka-buka buku nggak jelas, benerin jilbab lagi (sampe tambah parah ancurnya... hehehe), dll karena nggak tau mesti ngapain. Sementara anak-anak yang duduk di belakang keliatannya udah bisa beradaptasi dengan baik sama temen-temen lain maupun sama suasana kuliah. Ada yang cerewet banget sampe eternit ruangan pada nyaris retak-retak, ada yang ketawa menggelegar kayak pake sound system resepsi pernikahan, dan ada juga yang dengerin musik lewat headset-nya (diagnosa Neta menghasilkan dua kemungkinan: tu anak emang udah punya gaya cool dari sononya, atau dia bernasib sama kayak Neta yang saat itu nggak tau mesti ngapain, hehehe).
Sebentar kemudian ada seorang cewek berjilbab dan berkacamata seperti Neta masuk ke dalam ruangan. Bajunya rapi, roknya mulus, dan jilbabnya juga rapi. Mukanya juga rapi, eh, maksudnya tenang, kalem, nggak keliatan nerfes kayak Neta tadi. Jalannya juga pelan waktu masuk ruangan, dan tanpa babibu kelamaan nyari-nyari tempat duduk, dia langsung duduk di bangku paling depan dengan tenangnya. Neta masih ngeliatin dia waktu dia naroh tasnya dan ngeluarin pulpen sama buku tulis. Hmm, dia tenang atau sok tenang, ya? pikir Neta—yang waktu itu belum begitu paham dan bisa menerapkan konsep husnudzon pada orang lain. Dia nggak akan nyangka kalo cewek kalem itu bakal jadi sahabat deketnya di kemudian hari. Dialah Ami, si bundo dari Purwodadi.
Sebentar kemudian, seorang dosen masuk ke ruangan dan memulai kuliah, menghentikan keasyikan Neta mengamati orang-orang di sekitarnya.

2
Wuih... asik juga ternyata kuliah, batin Neta. Dosen tadi cerita lumayan banyak. Beliau juga kasih banyak nasehat tentang gimana belajar di universitas, tentang gimana kerjaan nanti abis lulus kuliah, dll. Ternyata kuliah emang nyantai kayak keliatannya selama ini, batin Neta lagi. Belum tau dia, kalo para dosen udah mulai ngasih tugas bejibun dan jadwal praktikum udah ditetapkan, saat itulah mahasiswa dan mahasiswi ilmu eksak harus rela menghapus kata ‘SANTAI’ dari kamus hidupnya.
Selesai kuliah yang pertama, Neta bingung mau ngapain. Kuliah beirkutnya hari itu masih dua jam lagi. Neta nggak mungkin pulang, dia nggak nge-kos dan rumahnya jauh, satu jam perjalanan kalo pake angkot dan bus. Dua jam berarti Cuma sempet buat bolak-balik di perjalanan aja. Masa iya Neta pulang Cuma bilang “assalamu’alaikum” di depan pintu rumahnya trus langsung bilang “assalamu’alaikum” lagi sambil pergi lagi balik ke kampus? Ngapain coba, kayak orang “nggak genep”, hehehe. Jadi, Neta sekarang masih bingung, apa yang mesti dia lakuin buat nunggu kuliah kedua entar siang?
Tiba-tiba bidadari mungil berjilbab putih itu muncul lagi. Risya, dia selalu jadi mata air buat Neta kalo lagi kehausan (whoa... hehehe).
“Neta, mau pulang?” tanya Risya di depan pintu lobi kampus.
“mmm, nggak. Rumahku kan jauh,” jawab Neta.
“trus, mau ke mana? Mau main ke kos-ku?” tawar Risya.
Mata Neta langsung berbinar. “iya, iya, boleh! Nggak papa, kan?”
“iya, nggak papa, kok. Yuk!”
Finally! Alhamdulillah. Neta bersyukur bisa kenal anak baik kayak Risya.
Risya adalah temen satu kelompok Neta waktu ospek. Anaknya kecil mungil, suaranya khas, agak pendiem, dan baeek banget. Wajahnya khas perempuan Aceh, karena dia emang keturunan Aceh.
Setelah berjalan selama kurang lebih sepuluh menit, akhirnya Neta sampai di kosan Risya.
“selamat datang di kosanku...” kata Risya sambil membuka pintu kamar kosnya.
“assalamu’alaikum...” salam Neta.
“wa’alaikumsalam...” sahut Risya. “sok Neta, duduk aja. Mau minum nggak? Aku ambilin gelas, ya...”
“iya, Sya, makasih...”
Neta mengamati kamar Risya. Masih kosongan. Maklum, pasti dia belum sempet ngehias kamar, kan baru masuk kuliah, batin Neta.
Sebentar kemudian Risya kembali dengan membawa sebuah gelas melamin, lalu memompa galonnya. Setelah gelas itu penuh, Risya memberikannya pada Neta.
“makasih...” kata Neta, lalu meminum air putih itu.
“ya...” sahut Risya.
“Risya dari Bekasi, kan?” ujar Neta.
“ya,” jawab Risya. “emang kenapa, Ta?” tanyanya kemudian.
“mm... kenapa kuliah di sini? Sini kan kota kecil. Deketan juga Jakarta, kota metropolitan... hehe...” kata Neta seraya nyengir.
“mm... kenapa, ya?” ujar Risya sambil tersenyum.
Risya nggak ngejawab terlalu jelas, tapi itu cukup jadi awal topik pembicaraan mereka. Selanjutnya mereka ngobrol banyak tentang diri mereka masing-masing, sampai waktu dzuhur tiba dan mereka pun shalat.

3
Awal yang nggak terlalu buruk buat hari pertama masuk kuliah. Risya selalu jadi temen Neta yang baeeek banget. Sejak hari pertama masuk kuliah itu, hampir tiap ada jeda kuliah yang lumayan lama, Neta selalu ‘numpang’ di kosan Risya, dan Risya pun nggak keberatan dengan hal itu. Saking berterima kasihnya pada Risya, Neta pernah berjanji kalo suatu saat dia boleh bawa motor dan punya SIM, dia bakal anter-jemput Risya kalo kuliah.
Hari itu seperti biasa, kuliah dimulai pagi. Neta harus berjuang dengan waktu supaya dia dapet angkot ke kampusnya—yang kalo pagi jaaaarang banget ada. Dengan waktu mepet, akhirnya Neta bisa sampai juga di kampus dengan selamat tak kurang suatu apa. Seperti biasa, Neta duduk di samping Risya. Sejauh ini, baru ada beberapa anak yang Neta kenal, ada Gilan, Hania, dan beberapa temen yang sekelompok waktu ospek.
Si cewek kalem yang Neta denger bernama Sri Amitasari (bukan Amitab Bachchan, hehee...), duduk agak depan. Di sebelahnya ada seorang cewek berambut panjang bergelombang yang dikuncir satu, yang Neta denger bernama Alina Melanie. Pengen juga kenalan sama mereka, tapi Neta nggak ada link, hehe. Tapi ah, ntar juga bakalan kenal seiring dengan berjalannya waktu, batin Neta.
Di barisan belakang kedengeran rame. Kayaknya ada yang lagi maenan tebakan.
“kata ahli gizi kan salmon baik banget buat tubuh, tapi kata mikrobiolog ada salmon yang bahaya buat tubuh! Hayo, salmon apa coba yang dimaksud?” kata Jacky, yang nama panjangnya Ilham Jackson. Katanya sih, masih satu kerabat sama Michael Jackson, Cuma beda genus. Si Jacky genus-nya Ilham, si Jacko genus-nya Michael (yee, emang spesies?! Hehe...). Setelah ditelisik di kemudian hari, ternyata ketauan kalo cerita tentang kekerabatan Jacky dengan Jacko cuma mitos belaka.
Temen-temen yang lain di sekitar Jacky pada mikir serius. Ada yang garuk-garuk kepala (dua kemungkinan: saking seriusnya mikir atau emang belon keramas setaun), ada yang garuk-garuk dagu, bahkan ada yang garuk-garuk kaki (ye, ini sih pada kena penyakit kurap kali... hehe).
Tiba-tiba cowok yang paling subur, yang Neta denger bernama Widodo Taufik Ridwan, angkat bicara. “Salmon hasil perkawinan silang sama piranha, Jack! Pasti bahaya tuh! Udah bisa loncat-loncat, giginya tajem-tajem lagi kayak sisir!”
Si Anggoro Cahyo buru-buru meralat. “kayak gergaji, tau! Rambutmu tuh disisir dulu!”
“e iya, maksudnya teh tajem-tajem kayak gergaji... iya deh, Nggor, nanti deh aku sisirin rambutku, hehe...” ujar Wido dengan logat sundanya yang kental. “gimana, Jack? Bener, kan?” ujar Wido sambil menoleh ke arah Jacky yang dari tadi cengar-cengir terus.
“salah!” jawab Jacky. “masa nggak tau, katanya anak kesmas???” ejek Jacky.
“yah, kita kan belum ada sebulan kuliah di sini... materi kesmas juga baru dapet kulit arinya doang...” ujar Anggoro.
“ya udah atuh, nyerah aja kita mah...” kata Wido akhirnya dengan muka pasrah.
“waah, nyerah, nih?” tanya Jacky girang.
“iya dah... udah aja kasih tau jawabannya!” desak Anggoro.
“jawabannya Salmonella thypii! Payah, nih, pada!” kata Jacky akhirnya.
Yang lain Cuma pada celingukan nggak mudeng.
“kayak pernah denger waktu SMA...”gumam Wido.
“iya, penyebab penyakit apaa gitu...” timpal Anggoro.
“penyebab tipes tau! Wah, jangan-jangan kalian masuk kesmas pake jalan pintas, nih!” kata Jacky seraya nyengir (emang hobi banget cengar-cengir nih kayaknya, hehe...).
“ah, nggak dong, Jack. Kita masuk kesmas pake cara normal-normal aja. Lewat gerbang, naik tangga, trus masuk ruangan deh. Emang ada jalan pintas lain?? Hahaha...” jelas Anggoro seraya ketawa.
“ah, kamu bisa aja, Nggor!” ujar Wido sambil nimpuk pundak Anggoro sampe Anggoro yang kering kerontang jatuh dari kursi. “eh, sori, Nggor... perasaan nimpuknya pelan...” kata Wido sambil buru-buru nolong Anggoro bangun.
Jacky geleng-geleng kepala. “untung kamu nimpuknya pelan, Wid. Kalo keras, Anggoro bisa nembus lantai sampe lobi, hehehe!”
Anggoro Cuma bisa ngelus-elus pundaknya yang maknyus pegelnya. Wido ikut ketawa. “ah, kamu bisa aja, J...”
“ets!” Jacky langsung sigap menghindar dari timpukan Wido.
Semuanya ketawa. Termasuk Neta. Dan juga Sri Amitasari dan Alina Melanie.

4
Hohohoho. Saatnya para mahasiswa baru mulai menghapus huruf demi huruf kata ‘SANTAI’ dari kamus hidup mereka. Mulai dari hurus S dulu deh...
Sebuah tugas makalah dan presentasi buat mata kuliah Ilmu Kesehatan Masyarakat, serta tugas makalah buat mata kuliah Agama menanti mereka buat dikerjain. Makalah? Kayak apa makalah itu? Format yang belum akrab dan pengalaman presentasi yang masih dikiiiit banget, bikin tugas itu makin sulit buat para mahasiswa baru.
Buat hari ini, Neta duduk di sebelah seorang cewek yang semenjak hari pertama dia nggak kenal baik muka maupun namanya. Ceweknya hampir semungil Risya, tapi masih agak gede dikit. Yang dari tadi Neta denger sih, cewek ini asik banget ketawa-ketiwi terus sama Hania dan satu temen di belakangnya.
“eh, ada Neta!” ujar Hania waktu sadar Neta duduk di depannya.
“hai, Han!” sapa Neta sambil menoleh dan senyum ke Hania.
“Neta, udah kenal belum? Ini Sevy,” kata Hania sambil menunjuk cewek di sebelah Neta.
Cewek itu senyum. “hai, aku Sevy,” katanya seraya ngulurin tangan buat salaman.
Neta segera menjabat tangan itu. “hai, aku Neta,” kata Neta seraya senyum. “kamu asalnya dari mana?” tanya Neta. Dari yang Neta liat, muka Sevy itu tergolong muka ‘doyan senyum’.
“dari tanah,” jawab Sevy.
“apa?” ujar Neta kaget.
“hehehe... dari daerah sini aja, nggak kos,” jelas Sevy kemudian. Neta ikut ketawa. Iya juga sih, asal kita kan dari tanah. Dari tanah kembali ke tanah... hihiy, jadi serem.
“eh, berarti kita sama, dong! Aku juga dari daerah sini aja, tapi agak jauh,” lanjut Neta.
“o ya? Wah, kita senasib sepenanggungan!” seru Sevy dengan suara khasnya, yang lagi-lagi hampir menyamai Risya, tapi agak gede dikit.
“kamu naik motor, ya, kalo berangkat kuliah?” tanya Neta lagi.
“yo’i. Kamu juga?”
“nggak, masih belum boleh sama ibu, jadi naik bus sama angkot deh...”
“hmm... padahal jauh, ya. Kapan-kapan naik busnya berhenti di tempatku aja, trus kita berangkat bareng naik motorku. Gimana?”
“wah... nggak usah. Nggak papa, kok, udah biasa. Hehe...”
Mereka pun ngobrol lebih jauh sambil nunggu dosen dateng. Sepanjang ngobrol, Neta senyam-senyum terus. Sevy lucu banget. Celetukkannya suka spontan tapi nggak jayus. Neta jadi betah ngobrol lama-lama.

 Doakan untuk inspirasi cerita berikutnya... (berdasarkan pengalaman real juga sih...)
keomawoyo... ^_^

Selasa, 12 April 2011

Lembar Biodata Pengurus UKI Kesmas 2010-2011


LEMBAR BIODATA PENGURUS UKI KESMAS 2010-2011

Nama Panggilan                  :  ......................................................................................................................
Nama Lengkap                    :  .......................................................................................................................
NIM                                         :  G1B................................................................................................................
TTL                                            :  .......................................................................................................................
Bidang di UKI                        :  .................................................. Sebagai     Kabid          Staff
Jenis Kelamin                       :  Ikhwan       Akhwat
Golongan Darah                  :  ⃝ A                   ⃝ B                       ⃝ AB                    ⃝ O
Anak ke-                                :  .......................................................................................................................
Dari Bersaudara                  :  .......................................................................................................................
Angkatan                               :  2008             2009                2010
Alamat Asal                           :  .......................................................................................................................
Alamat Kost                          :  .......................................................................................................................
Riwayat Pendidikan           :  SD..................................................................................................................
                                                      SMP...............................................................................................................
                                                      SMA...............................................................................................................
Pengalaman Organisasi    :  .......................................................................................................................
                                                      .......................................................................................................................
No. HP                                    :  1. ...................................................................................................................
                                                      2. ...................................................................................................................
E-mail                                      :  .......................................................................................................................
Facebook                               :  .......................................................................................................................
Hobi                                         :  .......................................................................................................................
Keahlian yang Dimiliki       :  .......................................................................................................................
Motto Hidup                        :  .......................................................................................................................


uki jadi.jpg
 


Harap Diisi Demi Kerapian Administrasi Organisasi
-KADERISASI UKI KESMAS-

Selasa, 29 Maret 2011


Lomba-lomba Update Status :P

Kalo liat status di FB, kadang pengen ketawa, kadang menginspirasi, tapi kadang juga bikin “muak”. Muak di sini bukan berarti sarkastik ya, tapi hanya sekedar perumpamaan bahwa status di FB ternyata juga bisa bikin orang “nggak suka”. Kalo liat fenomenanya sih, orang-orang yang update status itu ternyata memiliki tujuan masing-masing, meskipun tujuan utamanya ya pasti biar dia bisa kasih kabar seluas-luasnya ke semua orang yang dia kenal di FB. Tapi, sejauh pengamatanku sih, banyak motif tersembunyi dibalik tindakan update status loh (wuih, kayak tindak kriminal aja yah, pake motif tersembunyi segala, hehe). Berikut adalah golongan-golongan Facebookers berdasarkan jenis status yang paling sering di-update olehnya.

Pertama, adalah golongan “peng-update philosophycal status”, yaitu orang yang sebagian besar statusnya bertujuan untuk berbagi kebaikan, semangat, dan inspirasi. Orang ini lebih sering update status yang isinya petuah-petuah atopun kata-kata pemotivasi, baik buat dia sendiri maupun buat semua temannya di FB. Dan sangat jarang meng-update status yang isinya hanya curhatan atas perasaannya (yang emang seharusnya nggak di-share ke mana-mana), atau sangat jarang update status iseng. Mungkin pernah, tapi hanya sesekali.

Banyak yang terinspirasi dengan status yang dibuatnya, tetapi kadang temen-temennya di FB juga mungkin menganggap orang ini sangat membosankan dan bikin “enek” dengan statusnya yang selalu memuat filosofi-filosofi puitis yang kalo terlalu lebay bisa bikin muntah, hehe (jujur aja). Tapi, apa benar mereka pantas muntah dengan status-status inspiratif itu dibanding muntah dengan status-status iseng yang terlalu banyak membanjiri beranda FB kita?? Yuk, simak terus tulisanku, hehe.

Golongan kedua adalah golongan “i’m too much important to be cared” alias “aku terlalu penting untuk dipedulikan” (hahay). Golongan ini sangat hobi meng-update statusnya, terutama yang berkaitan dengan perasaannya, mulai dari status seperti “hmm, aku ngantuk” sampe “eh, lo pikir lo siapa??!! (marah)”. Hobiiiii banget update status, bisa aja status sebelumnya belum dikomen orang lain, eh dia udah bikin status lagi aja, sampe-sampe temen-temennya jadi males komen, hihi.

Biasanya,  status inspiratifnya cuma sedikit. Yang aku heran, biasanya status-nya itu ditujukan ke seseorang, bukan ke semua teman. Lalu kenapa nggak pake message aja? Yah, mungkin kembali lagi pada tujuan utama membuat FB: supaya eksis dan semua orang tau. Lalu buat apa sih, orang tau kalo kita lagi marah sama si anu, atau lagi patah hati, atau lagi sedih? Bukannya itu bisa bikin semua orang tau gimana “buruk”-nya kita? Allah aja nyuruh kita menyimpan rapat-rapat aib orang lain, lha kok kita malah rajin nge-share aib kita sendiri... hanya Allah dan mereka yang masuk golongan ini yang bisa menjawabnya :P.

Golongan ketiga adalah golongan “you have to laugh when you read my status” alias golongan yang mendedikasikan dirinya untuk status-status yang isinya lelucon, dengan maksud agar semua temen-temennya having fun dengan statusnya. Hampir tiap statusnya selalu didedikasikan untuk melucu. Tapi sayang, kalo pas leluconnya lagi garing, pasti temen-temennya Cuma bisa segera lari ke apotik terdekat buat beli obat anti nausea dan vomitus (hehehehehehe).

Golongan keempat adalah golongan “i have to keep or make good image by my status” alias orang-orang yang meng-update statusnya dengan tujuan membentuk imej diri yang bagus atau menjaganya agar tetap bagus. Golongan ini suka sekali update status yang berat-berat, filosofi kelas tinggi, kata-kata mutiara dari buku impor, wajib update status kalo lagi sibuk melakukan hal-hal bonafit seperti ikut seminar internasional, mancing di antartika, atau makan magnum di bawah sunset (ga nyambung kali ya? Hihiy). Ato nggak, dia memoles statusnya agar tampak seperti curhatan, tapi sebenernya ditujukan untuk membentuk atau menjaga imej kelas tingginya, seperti: “fiuh, capek banget seharian di kampus ngasistenin adek kelas... tapi gapapa, ipad sudah nyala, ipod tinggal pencet, segelas capuccino juga udah nangkring di meja, tinggal main game ditemani suasana cafe yang adem...” atau yang lebih nggak penting: “hm... parfum mobil oleh-oleh dari Canada, wangi juga...” atau mungkin: “eh, teman, bikin komunitas anak kampus yang pake hape android yukz!”
Waah, kalo yang baca emang sederajat, sebangsa, dan setanah air sih, seneng-seneng aja. Malah ikut nimbrung biar imej kelas atas-nya terbentuk juga. Tapi buat yang beda tahta? Bisa bikin frustasi. Apalagi kalo nggak tau istilah-istilah ipad, ipod, android. Paling banter ikut komen: “android tu apa cuy?” mending kalo dibales komen dengan baik, kalo dibalesnya gini: “masa lo gak tau? Kemane aje gan...” hm, imej temennya itu bisa turun drastis, ck ck ck J.

Trus, kita termasuk golongan yang mana, ya??? Kalo kita dominan update salah satu jenis status di atas, berarti kita termasuk salah satu golongan di atas, tapi bisa juga kita masuk ke semua golongan—alias kita kadang-kadang update status inspiratif, curhat, ngelucu, dan juga jaim. Yang paling baik emang yang seimbang. Alias nggak lebay. Allah juga nggak suka apa-apa yang berlebihan kan...

Coba aja, misalnya kita tiap update status selalu berfilosofi, selalu kasih nasehat, selalu puitis, pasti temen-temen di FB bakalan bosen dan bisa aja terjadi KLB nausea dan vomitus pada temen-temen kita itu (wah, bisa gawat! Huhuy). Pasti akan keluar anggapan-anggapan seperti: “ni anak sok dewasa banget sih. Status suka gaje, pake kata-kata kiasan lah, puisi lah. Lebay banget sih. Perasaan hidup tuh gak seromantis itu...” Mungkin tujuan kita emang baik, yaitu buat menginspirasi orang lain, tapi kan mesti diselingi status-status yang realistis juga, gak sebatas filosofi-filosofi.

KLB nausea dan vomitus juga bisa terjadi kalo kita terlalu mengeksploitasi FB sebagai tempat curhat massal. Mungkin akan banyak keluar pendapat-pendapat, misalnya: “ni anak sok penting banget! Siapa juga yang mau tau dia lagi ngapain jam 1 malem!” atau: “pikir amat lo mau patah hati sama siapa... curhat aja di bulan!” Sesekali emang boleh mengungkapkan unek-unek yang di-share ke mana-mana, tapi nggak tiap hari juga dong, apalagi tiap menit. Kalo mau sering-sering curhat, pake message ke temen deket kan bisa. Atau kembali ke cara manual, curhat langsung face to face ke sahabat. Lebih aman, dan nggak akan dicaci-maki sama temen di FB (meskipun Cuma dalem hati).
Sama juga kalo kita keseringan ngelucu di status FB. Karena yang namanya ngelucu itu kan sewaktu-waktu bisa garing. Bisa gawat itu, kalo lawakannya garing. Sesuatu yang garing kan gampang kebakar. Kita bisa aja dibumihanguskan oleh status kita sendiri karena keseringan ngelawak garing.
Dan, kalo keseringan update status jaim di FB, mungkin KLB nausea dan vomitus-nya bisa lebih parah—selain juga bisa menyuburkan benih-benih penyakit hati ke temen seperti iri, dengki, marah, dsb. Pendapat pertama yang keluar dari temen yang sering baca status jaim kita itu pasti: “BELAGU BANGET NI ORANG!” Kalo jaim-nya udah membabi buta, bisa berabe. Tangan temen kita di FB pasti gatel pengen nge-remove atau nge-blokir kita.

So, janganlah termasuk salah satu golongan di atas. Jadilah Facebooker yang tau kapan harus update status, kapan harus komen, dan kapan harus diam. Biar seimbang, nggak lebay, dan nggak bikin orang jenuh sama kita. Nggak enak kan kalo di-remove atau di-blokir orang? J.

By: Nena Fauzia